Warga Desa dan Kecamatan Poncokusumo menilai gejala pemanasan suhu lokal (local warming ) yang merusak habitat dan mengancam kelangsungan tanaman apel yang masih tersisa di desa dan kecamatan itu, diakibatkan oleh lalainya Perhutani dalam menjaga hutan konsesi seluas 3.200 Ha di lereng selatan Gunung Semeru, Kabupaten Malang. Penebangan hutan oleh mitra Perhutani, kini telah berkembang menjadi bisnis Perhutani itu sendiri, karena praktek ini menimbulkan pemasukan uang pada petugas Perhutani dan membuat Perhutani kehilangan kontrol.

“Praktek membisniskan wewenang negara itu dilakukan oleh para petugas Perhutani sendiri, ” tegas Irwan, tokoh desa setempat yang hari Selasa (29/4) memimpin demonstrasi puluhan warga dan pemuda menolak penebangan hutan oleh Perhutani.

Aksi warga diawali kekecewaan atas ulah petugas Perhutani yang menebang empat pohon di areal konsesi Perhutani. Penebangan itu sah, karena dilindungi surat izin dari Bupati Malang Sujud Pribadi. Namun bunyi permintaan izin dan izin yang diberikan oleh bupati berisi, bahwa penebangan dilakukan pada pohon kategori D, yakni pohon mati, busuk, atau membahayakan. “Ternyata yang ditebang pohon segar diameter 1 meter di sebelah rumah jaga yang selama ini kosong tidak pernah dihuni,” ungkap Irwan.

Mudjojono, Wakil Administratur Perhutani KPH (Kesatuan Pemangkuan Hutan) Malang datang dari kota Malang menemui warga pemrotes. Mudjojono mengenakan setelan baju hijau seragam Polisi Hutan (Polhut). Mudjojono sendiri mengakui, dia adalah Komandan Keamanan (Kokam) Polhut Perhutani. Namun ia membantah hendak menghadapi warga dengan senjata. Petugas kepolisian Polsek setempat mondar-mandir berpratoli mencegah kemungkinan warga bentrok dengan Polhut Perhutani.

Kekhawatiran warga beralasan. Warga menunjukkan kepada wartawan kerusakan ratusan hektar hutan yang parah pada paling tidak enam bukit lereng selatan Semeru di wilayah kecamatan ini. Kerusakan itu, menurut warga, diakibatkan oleh ulang pesanggem, yang memegang izin Perhutani untuk bercocok tanam di bawah pohon hutan secara agroforestry, namun akhirnya berujung pada penebangan hutan.

Kerja pesanggem, yang sebagiannya warga Desa Poncokusumo juga, selalu diakhiri dengan ditinggalkannya lahan hutan yang telah ditebang. “Matinya sumber air, longsor tahun lalu akibat banjir Kali Lesti dan menghantam rumah dan sawah di Kecamatan Wajak, semua terjadi gara-gara kerusakan hutan di Poncokusumo ini,” kata Embah, salah satu tokoh pemuda lainnya.

Mudjojono tentu saja menolak argumen warga. Menurutnya tidak ada kerusakan hutan di Poncokusumo, karena jadwal reboisasi di wilayah ini tinggal 20 Ha. “Tanah itu kalau dibiarkan saja, ya akhirnya jadi hutan, ” kata Mudjojono, enteng, saat berdialog dengan warga.

Reaksi Mudjojono itu memancing teriakan kecewa warga, yang langsung meninggalkan lokasi perundingan di Balai Desa. “Jawaban bahwa tanah kalau dibiarkan saja akan jadi hutan itu, sungguh sulit kami percaya muncul dari karyawan Perhutani yang memahi ekologi. Maka benarlah kalau selama ini ada tuntutan membubarkan Perhutani. Tidak heran ada tuntutan moratorium penebangan hutan di Jawa, ” tegas Irwan.

Menurut warga, kerusakan hutan setahun terakhir di Poncokusumo telah menaikkan suhu lokal menjadi 24-26 derajat Celcius. Padahal tanaman apel yang tersisa di Poncokusumo setelah kerusakan ekosisten tanaman apel di Batu dan Pujon, menuntut suhu harian rata-rata di bawah 20 derajat.

0 komentar: