IKHLASNYA IKHLASH

Ikhlash melipat kembali buku tabungannya. Dia tersenyum sendiri. Dia merasa doanya tlah terkabul. Tahun ini ia dapat mencium hajar aswad di Mekah. Sebuah impian yang selama ini terpendam sekian tahun.
Sejak kecil ikhlash ingin naik haji. Dia masih ingat bayang-bayang masa kecilnya saat dihadiahi Pak Haji Sulaiman yang baru pulang haji,sebuah peci putih bermotif benang perak. Ibunya dikasih oleh-oleh berupa cangkir-cangkir keciln yang indah yang biasa digunakan untuk minum air zam-zam. Air zam-zam? Oh, dia ingat cerita gurunya tentang asal muasal air tersebut. Ya, air yang mujarab tersebut muncul ketika nabi Ismail memukul-mukul kakinya ke tanah saay dia kehausan.
Ikhlash tersenyum membayangkan saat dirinya wukuf di Arafah memakai pakaian serba putih. Kata Emak dulu pakaian putih mengambarkan bahwa orang yang melaksanakan ibadah haji itu ingin mensucikan diri, memohon ampun atas segala dosa mereka yang pernah diperbuat. Seperti bersihnya kain putih dari segala kotoran.
Sedangkan Bapak waktu itu menjawab bahwa baju putih itu menggambarkan orang yangberhaji dalam keadaan yang bersih. Bersih diri dan hati. Bersih dari hutang, dengki dan dendam. Sebelum berangkat calon jemaah harus melunasi hutangnya dulu dan saling bermaaf-maafan dengan sesama, mengikis karang dendam di hati agar sepulang dari Baitullah mereka bersih dari masalah dan bisa mencerminkan akhlak seorang haji.
Ikhlash sendiri sudah merasa sanggup bertamu ke Baitullah. Tabungannya sudah lebih dari cukup. Hutang-hutang pun sudah dilunasi. Sisa ongkos ke Mekah bisa membayarSPP anaknya dan masih bisa menutupi kebutuhan keluarga yang ditinggalkan.
Tabungan itu berasal dari hasil kerjanya selamaini di pabrik kayu lapis. Terkadang dia harus lembur untuk mendapatkan gaji lebih agar bisa menabung setelah mencukupi kebutuhan keluarga. Untuk itu dia harus membayarnya dengan merelakan tiga jarinya dilahap mesin.
Istrinya yang mengetahui tekad dan harapannya turut membantu dengan meringankan beban keluarga dengan berdagang kecil-kecilan. Dan sekarang mereka sudah memiliki kios sendiri yang langsung ditangani oleh istrinya.
* * *
Lama Ikhlash berdiri di simpang jalan menuju rumahnya. Di jalan setapak ini dulu ia sering bermain dan duduk menjelang Maghrib bersama kawan-kawannya. Sore-sore begini mereka berjejer menunggui pancing sambil menatap matahari terbenam. Kawasan lereng Merapi yang dipagari Bukit Barisan memang sangat indah. Langit kekuning kuningan saat petang menjelang. Kunang-kunang mulai beterbangan dan suara jangkrik menjadi irama tersendiri. Mereka tak pernah bosan memancing sambil menunggu matahari tenggelam. Begitulah setiap hari. Ikhlash pun sering mengajak anaknya sore memancing di sini sambil mendongangkan kisah masa kecilnya.
Walau sudah tiap hari jalan ini dilaluinya namun hatinya selalu tertambat pada pemandangan di depan matanya. Akhir-akhir ini bukan sungai kecil yang airnya tak pernah berhenti mengalir dan langit yang indah yang menjadi tumpuan matanya, melainkan surau tua yang berdiri pas di depan batu besar tempatnya duduk memancing. Surau yang sudah ada sebelum Ikhlash dilahirkan. Tempatnya mengaji dengan Antan Bandaro dan belajar silat. Kini terlihat begitu tua dan mulai reot. Dia tidak tahu lagi apakah jamaahnya masih banyak atau cuma beberapa orang saja, sebab dia sendiri sudah jarang ke surau itu. Pulang bekerja selalu malam dan sehabis subuh dia harus segera pergi kerja lagi. Jadi shalatnya hanya di rumah.
Dengan langkah berat dilanjutkannya perjalanan. Rumahnya sudah dekat. Dia memang pulang lebih cepat hari ini. Rencananya ingin mengurus ongkos perjalanannya serta mencari tahu segala yang berhubungan dengan proses keberangkatannya.
Di halaman rumahnya didapatinya Rusydi, anak laki-lakinya, tengah memotong papan bersama tiga orang teman-temannya.”Untuk apa papan ini, Rusydi?” tanyanya.
“Rusydi dan teman-teman ingin membuat mobil-mobilan, Ayah,” jawab anak itu polos.
“Mobil-mobilan?” Ikhlash mengernyitkan dahinya melihat tumpukan kayu-kayu yang ada di samping Alam.”
“Iya, Mak. Iko untuk rodanya.” Salim mengangkat potongan sandal jepit yang telah dibentuk menjadi roda.
“Kalian kan punya mobil-mobilan nan pakai batrai, lalu untuk apa lagi ni?” Ikhlash masih heran.
“Kemarin Mamak mengatakan dalam hidup awak harus berkarya dan mau mencoba asal itu baik.” Alam ikut menjawab keheranan Ikhlash.
“Kami ko ingin membuat mobil-mobilan yang lebih besar daripada mobil-mobilan anak-anak nan lain, Mak. Satu mobil punya dua belas roda, Mak!” Adit mencerocos penuh semangat.
“Papan ini kalian dapat dari mana?”
“Dari surau, Mak.”
“Papan surau maksudnya?”
“Nan sudah lepas, Ayah.”
“Dapat izn ko,Mak!”
“Izin ? Dari siapa?”
“Dari Mak Sutan,”
“Mak Sutan mengizinkan? Kok bisa?”
“Supayo ndak lapuak, Yah.”
Ikhlash kembali diam. Anak-anak itu terus asik dengan pekerjaannya sambil berceloteh ria. Rusydi terus memotong papan dengan gergaji, Salim membuat roda, Alam dan Adit memakukannya. Ikhlash menghitung papan-papan itu. Delapan helai. Dia memperkirakan yang sudah dipotong sekitar tiga helai. Berarti semuanya ada sebelas
helai. Jumlah yang tidak sedikit.
“Di bagian mana papan ini lepas?” Ikhlash kembali bertanya. Rasa penasarannya masih menggebu-gebu.
“Kodek* surau nan di belakang, Yah.”
“Sebanyak ini?
“Masih banyak kok, Mak. Kapatang si Limah nan nyari kayu bakar malah ngambil papan ini,”
“Kalau lepas kan bisa dipaku lagi. Kenapa kalian tak merapikan saja, Kalau begini surau awak bisa roboh.”
“Tapi kami adalah orang kesekian, Mak. Sudah ada sebelum kami Ivan dan kawannya juga si Amat jo si Imam.” Salim menatapnya.
Ikhlash mengangguk-angguk namun hatinya masih diliputi tanda tanya. Kenapa Mak Sutan mengizinkan anak-anak mengambil papan surau? Sudah bagaimana keadaan surau itu kini, di musim hujan ini?

0 komentar: