Mulai ”Tergusur” Perkembangan Zaman
Menyigi Masjid-masjid Bersejarah yang Hampir ”Terlupakan”

Keberadaan Masjid tidak bisa dilepaskan dari perkembangan Islam di Minangkabau. Sebab sebagai salah satu tempat ibadah, masjid merupakan bangunan suci yang mesti ada pada suatu daerah ataupun perkampungan yang berpenduduk muslim.

Sampai saat ini, jumlah masjid yang tercatat di Departemen Agama Provinsi Sumbar, sekitar 5.682 unit. Dari jumlah itu, cukup banyak masjid-masjid bersejarah, bahkan berumur ratusan tahun, yang nyaris terlupakan. Karena di samping gencarnya pembangunan masjid-masjid baru, kurangnya perawatan dan renovasi, membuat “surau-surau” tua itu tenggelam dimakan usia.

Padahal dulu, selain sebagai tempat ibadah, masjid juga merupakan tempat belajar. Tak jarang, para alim ulama, cerdik pandai, dan tokoh-tokoh besar negeri ini lahir dididik di masjid. Mulai dari belajar tentang agama, adat istiadat, ilmu beladiri silat, tempat musyawarah, serta banyak kegunaan positif lainnya.

Jadi saat itu, masjid tidak saja diramaikan golongan tua-tua saja, tetapi merupakan tempat berkumpul anak-anak muda. Bahkan para lelaki Minangkabau juga memiliki pantangan tidur di rumah setelah mulai baligh. Rumah hanya di tempati pada siang hari, setelah sekolah dan menolong orangtua, biasanya “bujang-bujang” Minangkabau melanjutkan aktivitasnya di masjid.

Sesuai dengan falasafah yang dipegang teguh masyarakat “Adat Basandi Sara’ Sara’ Basandi Kitabbullah’, maka tak urung lagi, bahwa sejak dulu penduduk Minangkabau dikenal sebagai orang yang taat beragama dan teguh memegang adat. Namun kalau nostalgia itu dibawa pada kondisi sekarang, sepertinya tinggal sedikit yang tersisa.

Akan sangat jarang sekali, ditemukan anak muda yang tidur di surau, mempelajari agama, menghidupkan masjid dengan kegiatan-kegiatan yang positif. Atau sedikit sekali terlihat orangtua yang menyuruh anak-anaknya menjadi remaja masjid, yang selalu ke masjid untuk beribadah dan belajar. Tetapi tidak akan sulit menemukan mereka di tempat-tempat hiburan, plaza-plaza, supermarket, serta pusat-pusat keramaian lainnya.

Apakah masjid di Sumbar ini sudah mulai “lapuk”, tergerus seiring perkembangan zaman? Lapuk, di sini tentu mempunyai pengertian yang cukup luas, tidak saja lapuk pada tatanan fisik, tapi juga “lapuk” dalam aspek nonfisik. Dan yang cukup memilukan adalah masjid-masjid yang lapuk, kedua-duanya, fisik dan non fisik.

Dari penelusuran Padang Ekspres, bersama Padang TV pada beberapa daerah di Sumbar, ternyata cukup banyak ditemukan kondisi masjid yang kurang mendapat perhatian. Seperti Masjid Syech Daud, yang terletak di Nagari Malampah Kecamatan Tigo Nagari, Kabupaten Pasaman Barat. Masjid yang mempunyai nilai sejarah cukup tinggi ini, nyaris terlupakan keberadaannya. Padahal, masjid yang didirikan pada tahun 1890, mempunyai peran yang sangat penting dalam pengembangan ajaran Islam di daerah tigo nagari.

Nama Syech Daud sendiri, diambil dari nama pendiri masjid, yaitu seorang ulama besar Sumbar, yang berasal dari Nagari Malampah. Ada hal cukup unik terlihat, saat masuk ke dalam masjid yang terdiri dari 10 buah tiang, 6 jendela. Dimana akan ditemukan bendera merah putih terpasang di sekeliling dinding masjid. Menurut cerita masyarakat sekitar, bendera tersebut dijahid murid-murid Syech Daud. Namun sayangnya sampai kini tidak ada masyarakat yang mengerti makna pemasangan kain merah putih itu.

Menurut Abdullah Hukum, ulama pada daerah Durian Gunjo, bendera itu sudah terpasang sejah tahun 1926. Jauh sebelum kemerdekaan Indonesia di proklamirkan, bahkan dua tahun sebelum pelaksanaan kongres pemuda pertama tahun 1928. “Kain merah putih itu di pasang dua lapis. Bahagian luarnya memang sudah agak kusam, tetapi yang di dalam masih bewarna terang. Namun sayang kami tidak mengetahui makna dari pemasagan kain yang menyerupai bendera merah putih,” katanya.

Masjid yang telah berumur lebih dari satu abad ini kendatipun masih terlihat kokoh, namun dinding dan tiang-tiangnya sudah mulai lapuk dimakan usia. Sedangkan masyarakat dengan swadaya sendiri hanya mampu memelihara seadanya. Sampai sekarang aktivitas keagamaan pada masjid satu-satunya di Jorong Siparayo, Durian Gunjo tetap berlanjut. Seperti untuk shalat Jumat, wirid, pengajian, tadarus, ataupun untuk shalat tarwih.

“Agar masjid ini senantiasa terawat dan terjaga, kami sangat mengharapkan uluran dari semua pihak. Sehingga keaslian dan nilai sejarah yang dimiliki masjid ini tidak tenggelam seiring dengan waktu,” ucap Wali Nagari Malampah, Asri Nur yang waktu itu ikut menemani.

Selain di Pasaman, pada Nagari Candung, Kecamatan Agam juga terdapat sebuah masjid kuno, yang masih bisa dinikmati sampai saat ini, yakni Masjid Bingkudu. Menurut cerita masyarakat sekitar, masjid ini dibangun pada tahun 1813 yang diprakarsai oleh tokoh-tokoh tujuh nagari. Ketujuh nagari itu adalah Canduang, Koto Lawas, Lasi Mudo, Pasanehan, bukit batabuah, Lasi Tuo.

Masyarakat secara bersama-sama membangun masjid seluas 21 x 21 M dengan tinggi 37,5 meter ini. Menariknya hampir semua material yang pergunakan untuk membuat tempat beribadah ini berasal dari kayu, baik lantai, dinding, maupun tiang-tiangnya. Sedangkan atapnya yang berundak tiga, terbuat dari susunan ijuk.

Bangunan ini saat didirrikan memakai sistem pasak. Artinya tidak satupun dari komponen penyusun masjid ini yang dilekatkan satu sama lain dengan menggunakan paku. Lampu-lampu minyak yang yang terpajang pada setiap sudut masjid rata-rata juga sudah menjadi barang antik, karena telah berumur ratusan tahun.

Pekarangan di sekitar masjid cukup indah. Tiga kolam ikan, serta satu kolam besar untuk berwudhuk membuat kesan masjid yang cukup jauh dari pemukiman penduduk itu semakin alami. Dulunya air untuk berwudhuk dialirkan dengan bambu sepanjang 175 meter dari kelurahan. Namun sekarang untuk memperlancar aliran air, salurannya diganti dengan pipa besi.

Selain itu, pada pekarangan masjid juga terdapat sebuah menara denga ketinggian 30 meter. Seperti kebanyakan masjid yang ada, menara ini digunakan untuk mengumandangkan azan, terutama saat belum ada pengeras suara. Sementara di halaman masjid terdapat makam Syech Ahmad Thaher, pendiri sekolah pendidikan Islam yang lebih dikenal dengan MUS (Madrasah Ulumi Syriah). Ia meninggal sekitar 13 Juli 1960.

Pada tahun 1957, atap masjid yang terbuat dari ijuk, diganti masyarakat dengan seng. Itu dilakukan karena ijuk yang yang mengatapai ruangan masjid dari hujan dan panas telah lapuk. Dua tahun kemudian dilakukan renovasi dan pemugaran terhadap bangunan masjid yang lainnya.

Menurut Kepala KUA Candung, Ramza Husmen yang ikut langsung meninjau Masjid Bingkudu mengatakan pada tahun 1999, masjid ini diserahkan kepada Pemkab Agam, dan ditetapkan sebagai salah satu bangun cagar budaya di Agam. Dua tahun setelah itu, masjid mengalami pemugaran secara keseluruhan. “Atapnya yang dulu seng dikembalikan ke ijuk. Kemudian bagian-bagian yang lapuk diganti dan serta dicat lagi sebagaimana aslinya,” kata Ramza.

Aktivitas keagamaan tetap berlangsung di tempat ini. Baik untuk shalat berjamaah setiap hari, shalat Jumat, serta ibadah lainnya. Apalagi saat bulan Ramadhan kali ini, intensitas kunjungan masyarakat terhadap masjid sangat tinggi. Hanya saja seperti yang diingikan warga, perhatian pemerintah berlangsung secara kontiniu.

Seperti sekarang beberapa bagian dari bangunan pasca direnovasi tahun 1992, juga haru mendapat pembenahan lagi. “Warga juga telah melakukan perbaikan, tetapi memang semampunya. Kami ingin masjid ini bisa dinikmati sampai kapanpun sebagai tempat beribadah,” pungkas Ramza.

Di Kota Padang, selain Masjid Raya Gantiang juga terdapat masjid kuno lainnya yang didirikan sekitar tahun 1750 M. Masjid yang berada di sekitar kawasan Batang Arau itu bernama Masjid Nurul Huda. Batang Harau sejak ratusan tahun lalu memang telah berkembang sejak ratusan tahun lalu. Sampai saat ini pun kita masih bisa melihat deretan bangunan-bangunan kuno yang berjejer sepanjang sisinya.

Masjid ini sepertinya hampir luput dari perhatian warga Kota Padang. Setelah ratusan tahun berada di hiliran Batang Arau, memberikan pengajian pada warga sekitar, namun sampai sekarang belum masuk dalam salah satu cagar budaya, di Kota Padang.

Ini mungkin terjadi, karena bangunannya sudah tidak asli lagi. Memang, sejak tahun 1960-an bangunan asli Masjid Nurul Huda yang berbahan kayu diganti dengan semen. Sama seperti fungsi masjid pada zaman dulu, selain tempat beribadah, juga sebagain tempat menimba ilmu.

Cukup banyak imam-imam langsung mengajarkan agama kepada di masjid ini, terakhir adalah Imam Abdul Wahab. Hingga akhir hayatnya pada tahun 1940, imam yang lahir tahun 1880 ini mengabdikan dirinya untuk mengajarkan Islam kepada masyarakat, terutama tentang masalah ketauhidan.

Usman rajo Lelo (80), salah seorang anak didik Imam Abdul wahab yang masih hidup saat ini, mengaku masih mengingat jelas cara mengajar yang diterapkan Imam Abdul Wahab. “Kami belajar mengaji setiap selesai Shalat Magrib hingga selesai waktu shalat Isya. Cara imam mengajar kami sangat khas. Setiap ayat-ayat Alquran dilantunkan dengan irama yang menawan. Sehingga anak-anak yang belajar saat itu sangat menyenangi pelajaran mengaji. Setelah mengaji para anak laki-laki belajar silat hingga tengah malam,” terang Usman.

Dengan jumlah masjid di Sumbar yang mencapai 4.682 unit, masjid-masjid kuno yang mempunyai nilai penting baik dari segi sejarah dan pengembangan Islam, tentu tidaklah seberapa. Namun kesadaran semua pihak untuk melestarikan dan memberdayakan masjid yang ada adalah keharusan.

Di sisi lain, kembali ke masjid harus diarifi semua tidak saja dengan ucapan tetapi juga perbuatan. Yakni menjadikan masjid sebagai tempat belajar dan sumber ilmu. Pengembangan perpustakaan masjid, pendirian pusat-pusat kajian Islam, mengharuskan setiap masjid memiliki TPA dan TPSA, merupakan hal yang harus dilakukan. Kalau tidak, masjid tentunya akan “lapuk” tidak saja ditelan waktu, tetapi juga ditelan perkembangan zaman.

Sumber : http://candaung.wordpress.com/

0 komentar: